Riza Nur Fikri

Riza Nur Fikri

Senin, 03 Januari 2011

Islam di Thailand


ISLAM DI THAILAND
Oleh: Riza Nur Fikri
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2010

BAB I
PENDAHULUAN
Thailand adalah sebuah Negara di wilayah Asia Tenggara yang berbentuk Monarki Konstitusi. Islam masuk di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10 atau ke-11 dibawa oleh pedagang Arab dan India. Islam pernah berkuasa di wilayah Pattani sejak berdirinya Kerajaan Islam Patani abad ke-14. Namun, sejak berada dalam kekuasaan Kerajaan Siam, hingga sekarang umat Islam menjadi minoritas dan terdiskriminasi oleh pemerintahan Thailand.
Muslim Thailand sebagian besar tersebar di empat propinsi bagian selatan, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun. Mereka kerap memperoleh problem dan kekerasan oleh pemerintah. Hingga saat ini Muslim Thailand terus berjuang untuk memperoleh hak-haknya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Islam di Thailand
Islam masuk ke Thailand diperkirakan pada abad ke-10 M atau ke-11 M, dibawa oleh para pedagang Arab dan tempat pemukiman Islam pertamanya adalah bagian selatan yang lebih dikenal dengan Pattani. Proses penyebaran Islam dilakukan oleh para guru sufi pengembara dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India. Lebih kurang 300 tahun keberadaan Islam di Pattani, terbentuk kerajaan Islam di Pattani dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Sulaiman Syah yang berkuasa dari tahun 1357 M-1398 M.[1]
Ketika mereka datang, belum ada penduduk Siam yang beragama Islam dan penduduk menyebut pedagang Islam ini dengan sebutan Khek Islam yang artinya orang Muslim. Mereka kemudian meminta kepada raja Siam untuk diperbolehkan mendirikan  mesjid di lahan tersendiri.[2] Perdagangan menyebabkan adanya interaksi dengan penduduk yang kemudian terjadi perkawinan campuran. Hal ini yang menyebabkan Islam tersebar di Siam.
Perlawanan terhadap Portugis membawa peningkatan pengaruh Islam di Siam. Mulai tahun 1540-an M, orang-orang Persia, India, dan Melayu sudah banyak yang Muslim. Mereka banyak bermukim di Ayutthia dan Tennaserium dan mempunyai dominasi dalam perlawanan terhadap Portugis. Ketika Raja Narai berkuasa tahun 1657, orang-orang Syi`ah Persia menjadi penasehat terdekatnya, yang terpenting diantaranya adalah Aga Muhammad Astrabadi dengan nama Siamnya Okphra Sinnaowarat. Kaum Muslim mendapatkan posisi-posisi kunci terutama di kota-kota pelabuhan.
Merosotnya pengaruh Muslim di Siam berawal dari meninggalnya Astrabadi pada tahun 1679 yang diikuti dengan pertengkaran di antara anak-anaknya. Puncaknya adalah ketika kaum Muslim di ibu kota Siam memberontak sehingga kaum Muslim minoritas kehilangan posisi penting mereka.[3]
Di Thailand, Islam merupakan agama kedua setelah Budha. Kaum Muslimin adalah kelompok minoritas dalam kerajaan. Mereka sebagian besar tersebar di empat propinsi bagian selatan, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun.

B.     Sekilas Tentang Thailand
Kerajaan Thailand adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Thailand dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949.[4]
Negara Thailand berbentuk Monarki Konstitusi yang beribu kota di Bangkok. Bahasa resmi Negara adalah bahasa Thai. Agama resminya adalah Theravada Buddhism. Raja Thailand hingga sekarang adalah Raja Bhumibol Adulyadej, sedangkan Perdana Menterinya yaitu Abhisit Vejjajiva. Thailand adalah satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang belum pernah dijajah Negara asing.
Berdasarkan Sensus tahun 2006, jumlah penduduk Thailand berjumlaj sekitar 64.700.000 jiwa. Prosentasi Penduduk Thailand menurut etnis adalah 75% etnis Thai, 14% etnis China, 3% etnis Melayu, sisanya etnis Mons, Khamer, dan lain-lain. Sedangkan menurut agama adalah 94,7% Budha, 4,6% Islam, 0,7% adalah lainnya (Kristen, Hindu, Sikh).

C.    Populasi, Demografi dan Corak Islam
Berdasarkan data penduduk “Islam menurut Negara” di Wikipedia, pada tahun 2007, jumlah penduduk Islam di Thailand berjumlah 4,6% atau 2.999.135 jiwa (dari total penduduk 65.068.149 jiwa). Menurut Badrus Sholeh,[5] Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand,sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Mayoritas Muslim adalah Muslim Melayu (sekitar 80%) di bagian selatan, Muslim Bangladesh dan Pakistan di daerah perkotaan, Muslim Thai di perkampungan Thailand tengah dan selatan, dan Muslim Cina di bagian utara.
Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya.. Hal ini tampak dari pertumbuhan masjid di Thailand yang berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid.[6]
Sementara dalam urusan hukum, hukum keluarga Muslim diberlakukan di empat provinsi Selatan, yaitu Pattani, Narathiwat, Songkhla dan Yala dengan daerah seluas 14.010 kilometer persegi, pengamalan agamanya adalah mazhab Syafi'i. Dalam masalah pendidikan, didirikan sekolah-sekolah untuk Muslim dan disana anak-anak didik baik masalah akhlak, budi pekerti, sejarah Islam dan lain sebagainya.
Berdasarkan data yang ada bahwa tempat pendidikan yang khusus tempat pendidikan Muslim berjumlah sebanyak 400 sekolah Muslim, disanalah umat muslim didik ditambah lagi dengan sebuah perguruan tinggi Islam. Semua dilakukan pemerintah karena di sekolah-sekolah negeri Islam tidak diajarkan.[7]
Mayoritas Thai Muslim adalah Sunni, dan sedikit Syi`ah (sekitar 1 %). Ada National Council for Muslim (semacam MUI), yang terdiri dari 5 orang dan ditunjuk oleh kerajaan. Lembaga ini bertugas memberikan saran bagi menteri pendidikan untuk urusan pendidikan Islam dan haji. Lembaga ini mempunyai perwakilan di tiap propinsi. Di Thailand terdapat ratusan sekolah Islam, pesantren (ada sekitar 500-an, lazimnya disebut pondok), dan juga bank Islam. Sementara itu 12% dari pegawai pemerintahan Thailand adalah Muslim.[8]

D.    Minoritas Muslim, Tantangan dan Problem
Setidaknya ada dua hal yang dapat dikatakan Muslim Thailand sebagai minoritas, yaitu dalam aspek agama dan etnis. Muslim di Thailand menjadi minoritas setelah Malaysia bagian utara dibagi menjadi dua bagian, dan menyerahkan sebagiannya ke Thailand. Islam menjadi minoritas sejak Thailand Selatan (Pattani) menjadi bagian Negara Thailand (Siam).
Padahal, dahulu, Muslim Pattani adalah sebuah kerajaan Islam. Pada tahun 1457, daerah Patani—sekarang menjadi Pattani—berpenduduk mayoritas Melayu Muslim. Kedatangan Inggris ke Semenanjung Malaka menghasilkan perjanjian dengan Thailand, yaitu Patani dikuasai oleh Thailand dan Perlis dan wilayah lainnya dimiliki oleh Inggris. Kemudian hari Inggris menyebut daerah jajahannya dengan sebutan Malaysia. Muslim Patani saat itu dipaksa untuk menjadi bagian dari Thailand atau ketika itu masih bernama kerajaan Siam.[9]
Di bidang politik, keinginan kaum Muslimin untuk memisahkan diri sangat meresahkan kerajaan, gerakan kaum Muslim tersebut tergabung dalam kelompok organisasi seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (RNPP), Barisan Revolusi Nasional (BRN). Keinginan memisahkan diri dari kerajaan Thai lebih dikarenakan adanya keengganan pemerintah untuk memberikan kebebasan dalam mengungkapkan apresiasi budaya mereka dan ini diartikan kaum Muslimin sebagai pelumpuh budaya Islam. Partisipasi Muslim Melayu dalam system politik dan sebagai warga Negara Muangthai mulai tumbuh sejak bangkitnya demokrasi pada tahun 1979.[10]
Problem Muslim di Thailand diantanya : bahasa Melayu tidak diperbolehkan, orang-orang Thai Muslim dipaksa menggunakan nama-nama Thai, Thai Muslim sering mendapat tekanan dari pemerintah. Dalam bidang pendidikan, banyak sekolah Muslim dibakar dan ditutup (2006-2007), Ijazah di madrasah-madrasah Islam tidak diakui oleh pemerintah. Selain itu, sering terjadi konflik religio-etnis, yaitu antara Melayu-Muslim dengan Thai-Budhist.

E.     Kondisi Terakhir Thailand
Muslim Thailand banyak yang puritan dan dikhawatirkan berkaitan dengan Al-Qaeda dan Jama`ah Islamiyah(JI). Pemerintah menuding Muslim Thailand yang studi di Timur-Tengah sebagai pembawa paham Wahhabi dan Pan-Islamisme. Oleh karena itu pemerintah Thailand sedang menggalakkan Islam Modern dengan menyatukan Islam, bukan Melayu, tapi Islam Thailand yang moderat.
Malaysia dituding pemerintah Thailand sebagai pendukung terhadap suburnya semangat separatism di Thailand Selatan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa banyak orang Thai yang meminta suaka politik di Malaysia.
Kekerasan di Thailand Selatan hingga kini masih berlangsung. Bahkan korban jiwa akibat kekerasan yang berlangsung sejak 2004 telah mencapai 2.400 orang. Pemerintahan Thailan terus berupaya meredam kekerasan disana. Sejumlah upaya perundingan juga ditempuh, tetapi belum ada penyelesaian tuntas atas masalah ini.[11]
            Perdana Menteri Thailand, Surayud Chulanond, bahkan mengubah kebijakannya di Thailand Selatan. Ia menempuh langkah yang lebih persuasive dan dialog untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ini menggantikan strategi yang diterapkan oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang lebih keras.[12]
           
BAB III
PENUTUP
Konflik umat Islam dengan pemerintah di Thailand hingga saat ini masih kerap terjadi. Perlakuan pemerintah terhadap umat Islam masih buruk. Namun, upaya-upaya untuk meredam konflik terus dilakukan melalui dialog pemerintah dengan sejumlah pemimpin ormas Islam Thailand. Bahkan pemerintah Thailand telah berdialog dengan pemimpin ormas Islam di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, untuk mencari solusi dalam penyelesaian konflik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dyayadi, Dakwah Islam di Negeri Kristen (Ketika Umat Islam Menjadi Minoritas).Yogyakarta: Lingkar Dakwah, 2008.
Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik HIngga Modern.Yogyakarta: LESFI, 2004.
Muhammad Wildan, Hand Out mata kuliah Sejarah Islam Minoritas, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Badrus Sholeh, Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan, format pdf, diakses di www.google.com, tanggal 1 Januari 2010.

Saifullah SA., “Minoritas Muslim di Asia Tenggara”, IAIN Imam Bonjol Padang, http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/01/minoritas-muslim-asia-tenggara.html, diakses tanggal 1 januari 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Thailand, diakses tanggal 1 Januari 2010.

SEJARAH ISLAM MINORITAS DI THAILAND
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu

Mata Kuliah: Sejarah Islam Minoritas

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Wildan










Disusun Oleh :
Riza Nur Fikri : 08120027


JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009



[1] Saifullah SA., “Minoritas Muslim di Asia Tenggara”, IAIN Imam Bonjol Padang, http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/01/minoritas-muslim-asia-tenggara.html, diakses tanggal 1 januari 2010.
[2] Riswinarno, “Peradaban Islam Pra-Modern di Asia Tenggara”, dalam Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik HIngga Modern(Yogyakarta: LESFI, 2004), hlm. 332.
[3] Riswinarno, “Peradaban Islam Pra-Modern di Asia Tenggara”, dalam Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik HIngga Modern(Yogyakarta: LESFI, 2004), hlm. 336.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Thailand, diakses tanggal 1 Januari 2010.

[5] Badrus Sholeh, Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan, format pdf, diakses di www.google.com, tanggal 1 Januari 2010.
[7] Saifullah SA., “Minoritas Muslim di Asia Tenggara”, IAIN Imam Bonjol Padang, http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/01/minoritas-muslim-asia-tenggara.html, diakses tanggal 1 januari 2010.
[8] Muhammad Wildan, Hand Out mata kuliah Sejarah Islam Minoritas, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[10] Herawati, “Peradaban Islam Modern di Asia Tenggara”, dalam Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik HIngga Modern(Yogyakarta: LESFI, 2004), hlm. 356.
[11] Dyayadi, Dakwah Islam di Negeri Kristen (Ketika Umat Islam Menjadi Minoritas)(Yogyakarta: Lingkar Dakwah, 2008), hlm. 188.
[12] Ibid., hlm.189.

Dinasti Ayyubiyah

DINASTI AYYUBIYAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Afrika
Dosen Pengampu: Prof. Dr. M. Abdul Karim, MA., MA.



Oleh:
Riza Nur Fikri: 08120027

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010




BAB I
PENDAHULUAN
            Ketika Dinasti Fatimiyah mulai melemah dan tidak sanggup menghadapi tentara Salib yang ingin menguasai dunia Islam, rajanya, Al-‘Adhid li Dinilah yang telah tua renta dan sering sakit-sakitan meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki (Nuruddin al-Janggi), raja Syam. Nuruddin mempunyai pemimpin militer yang sangat cakap yaitu Syirkuh untuk membantu pasukan Mesir. Setelah dia wafat, posisinya digantikan oleh keponakannya yaitu Shalah al-Din Ibn Ayyub. Melalui perjuangan yang keras, akhirnya Shalah al-Din berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah.
Dalam pembahasan mengenai dinasti ini pastinya tidak akan lepas dari peristiwa perang Salib, meskipun tidak secara keseluruhan, namun hanya sebatas pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Secara garis besar, dalam makalah ini diuraikan mengenai berdirinya Dinasti Ayyubiyah, perkembangan dan kemajuannya, serta berakhirnya Dinasti Ayyubiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Pendiri dinasti Ayyubiyah adalah Shalah al-Din Ibn Ayyub (Shalahuddin al-Ayyubi, di Barat dikenal dengan Saladin). Dia dilahirkan di Tikrit, Tigris, pada tahun 1138 di bawah asuhan suku Kurdi.[1] Ia mendapat latihan awal dari ayahnya, Najmuddin Ayyub dan pamannya yang berjiwa kesatria yaitu Asaduddin Syirkuh. Keduanya adalah pembantu-pembantu terpercaya dari Nuruddin Mahmud, raja Syiria.[2]
Shalah al-Din muncul sebagai prajurit biasa di Mesir pada tahun 559 H/1164 M pada waktu usia 27 tahun. Pada waktu itu raja Nuruddin Zanki mengutus tentara yang terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di bawah pimpinan Syirkuh yang dibantu oleh staf komandonya yang salah satunya adalah Shalah al-Din.[3] Nuruddin bertekad untuk menyerang Mesir. Syirkuh mempengaruhi orang-orang Mesir, menyerbu pasukan Franka yang sudah keluar untuk menghalang-halanginya. Almeric (pemimpin orang-orang Franka) menarik mundur ke Palestina, sementara Syirkuh memasuki Kairo dengan kemenangan.[4] Pada saat itu Syirkuh bekerjasama dengan Sawar, salah satu menteri Fatimiyah yang diusir oleh Dirgham dan pendukungnya dan melarikan diri ke Syiria. Namun setelah kembali menjabat sebagai wazir, dia berkhianat dan berusaha membunuh Syirkuh dan bekerjasama dengan Almeric, namun tidak berhasil dan dikalahkan oleh Syirkuh.[5]
Atas prestasinya itu, pada tahun 1169 Syirkuh menduduki jabatan menteri di bawah pimpinan al-‘Adid, Khalifah Fatimiyah terakhir. Namun tak lama setelah pelantikannya, Syirkuh meninggal dunia dan digantikan oleh keponakannya, Shalah al-Din Ibn Ayyub.[6]
Ketika Khalifah al-‘Adid meninggal, Shalah al-Din pun diangkat menjadi penguasa Mesir. Tetapi dia tidak bersedia menjadi pelanjut raja Fathimiyah.[7] Pada 1171 M, Ayyubi menghapuskan Kekhalifahan Fatimiyah.[8] Bertepatan dengan wafatnya Nuruddin pada tahun 1174, Shalah menyatakan kemerdekaannya di Mesir.[9] Dia menghapuskan jejak-jejak terakhir kekuasaan Fatimiyah di Mesir dan mempromosikan suatu kebijaksanaan pendidikan dan keagamaan Sunni yang kuat[10], menggantikan faham Syi`i.
B.     Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Ayyubiyah

Periode kedua atau periode menghadapi Syria (1174-1186 M)[11] dimulai setelah wafatnya Nuruddin Zanki. Setelah melalui beberapa pertikaian dan perjanjian yang memuncak pada pertempuran Qurun Hamah, ia merebut Syiria dari Isma’il yang baru berumur tujuh tahun, anak Nuruddin. Pada saat yang bersamaan, saudara tertua Shalah, Turan Syah berhasil mengambil alih kekuasaan di Yaman. Pada tahun 1175, Shalah al-Din secara pribadi meminta Khalifah Abbasiyah untuk melantiknya sebagai penguasa atas wilayah Mesir, Maroko, Nubia, Arab Barat, Palestina, dan Suriah Tengah. Khalifah Abbasiyah mengabulkan permintaan itu.[12]
Kemudian Shalah al-Din menjadi penguasa Arab terpenting yang berhasil menyatukan Mesir, Syiria, Mesopotamia dan Yaman.[13] Kebijakan Shalah al-Din selanjutnya adalah melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib. Kebijakan ini membuat antusiasme Islam bersatu dibelakangnya dan mampu mempersatukan tentara Turki, Kurdi dan Arab di jalan yang sama.[14] Untuk mempertahankan diri dari gerakan Fathimiyah di Mesir, pasukan Salib di Syiria dan Palestina, dia mendirikan benteng Kairo di bukit Muqattam yang paling barat.[15]
Periode ketiga atau periode Palestina (1186-1193 M), digunakan untuk perang suci melawan orang-orang Salib.[16] Pada 1 Juli 1187, Shalah al-Din merebut Tiberias setelah peperangan selama enam hari. Penaklukan itu kemudian disusul oleh perang Hittin pada 3-4 Juli[17], yang akhirnya dimenangkan olah Shalah al-Din. Kemenangan Shalah al-Din dalam perang Hittin telah memangkas gerak penyebaran bangsa Franka. Setelah penyerbuan yang berlangsung seminggu, Yarusalem akhirnya menyerah pada 2 Oktober 1187. Di Masjid al-Aqsha, seruan adzan menggantikan lonceng Kristen, dan salib emas yang berada di atas kubah batu diturunkan oleh tentara Shalah.[18]
Penaklukan itu memberikan kekuasaan atas sebagian besar kota bangsa Franka di sepanjang Suriah-Palestina kepada Shalah al-Din. Kota-kota seperti Acre, Nablus, Ramleh, Caesaria, Jaffa, Ascolon dan Beirut juga jatuh ke tangan Shalah al-Din. [19] Perang suci inipun berakhir dengan perjanjian di Ramleh pada tahun 1192 M dengan beberapa syarat: (1) Yarussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diizinkan beribadah di tanah suci mereka, (2) Tentara Salib mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai Jaffa, (3) Umat Islam mengembalikan harta rampasan kepada umat Kristen.[20]
Kebijakan yang dilakukan oleh Shalah al-Din pada waktu itu antara lain dia mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi`i di Mesir, Yerussalem dan Damascus. Madrasah-madrasah yang didirikan antara lain adalah Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Shalahiyah.[21] Dia juga banyak membangun administrasi Negara, membangun ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan disamping membangun madrasah dan mengembangkan madzhab ahlu al-sunnah. Dalam bidang militer dibangun benteng pertahanan di bukit Muqattan untuk menghadapi gerakan Fatimiyah dan pasukan Salib.[22] Shalah al-Din merupakan kesatria atau pejuang dan pahlawan Islam.  Dia juga tokoh yang sederhana, sabar, dan pelindung ilmu pengetahuan. Dikalangan orang Barat dia masih dianggap sebagai teladan dalam sikap kepahlawanan. Di bawah kepemimpinannya, Dinasti Ayyubiyah mengalami masa kejayaan hingga dia wafat pada tahun 1193 M.
C.    Berakhirnya Dinasti Ayyubiyah

Sebelum wafat, Shalah al-Din memberikan berbagai bagian dari dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damascus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Shalah al-Din, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Baalbek dan Yaman.[23] Sekalipun demikian, rasa solidaritas keluarga dan pengendalian dari pusat tetap ada di bawah Al-‘Adid dan Al-Kamil  hingga a-Al-Kamil meninggal.[24]
Antara tahun 1196-1199, al-‘Adil memanfaatkan perselisihan antara keponakan-keponakannya, mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar Suriah untuk dirinya sendiri. [25] Pada saat itu orang-orang Salib mulai menyadari bahwa Mesir merupakan bagian yang penting sekali, bahwa penundukannya pasti memudahkan jatuhnya Palestina ke tangan mereka.[26] Setelah al-‘Adil wafat pada 1218, perselisihan antara saudara terus terjadi. Pada saat itu pula Suriah Utara dihancurkan oleh pasukan Tartar dari suku Hulaghu.
Selanjutnya dinasti Ayyubiyah dipimpin oleh Al-Kamil (1218-1238). Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam Dinasti Ayyubiyah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk melakukan serangan tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalah al-Din, seperti Beirut, Safawi, Tiberas, Askalon, bahkan Yerussalem jtuh ke tangan orang Franka.[27] Pada tahun 1229 dalam suatu perjanjian yang curang, Yerussalem diputuskan untuk diserahkan kepada Frederick, dengan jaminan bahwa al-Kamil akan menerima bantuan dari Frederick untuk melawan musuh, yang kebanyakan dari mereka adalah keluarga Ayyubiyah.[28] Al-Kamil wafat pada tahun 1238.
Pemimpin Ayyubiyah selanjutnya adalah anaknya, Abu Bakar, bergelar al-Adil II. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama, tidak ada ada tiga tahun. Budak-budaknya bersekongkol mengadakan perlawanan terhadapnya dan memproklamirkan Shalih Ayyub. Pada masa pemerintahannya, dengan unit pasukan Khawariz, dia berhasil mengembalikan Yerussalem ke tangan Islam dan mengalahkan Frank di dekat Gaza. Kemudian Menguasai Damascus lagi pada tahun 1245 dan Ascolon pada tahun 1247.[29]
Pada saat Shalih wafat (1249), istrinya, Syajar al-Durr, merahasiakan kematian Shalih selama tiga bulan sampai anak dan pengganti Shalih, Turan Syah, kembali dari Mesopotamia. Turan gagal beradaptasi dengan budak-budak (mamluk) ayahnya, yang berkomlpot dengan ibu tirinya, dan akhirnya Turan pun dibunuh. Syajar memproklamirkan dirinya sebagai ratu Negara Islam, dan keturunannya Diansti Ayyubiyah di Damascus yang baru berumur enam tahun, al-Asyraf Musa, disetujui untuk menjadi penguasa, tetapi yang bertindak sebagai raja adalah Mamluk Aibak, pendiri Dinasti Mamluk.[30]

BAB III
PENUTUP
           
            Dinasti Ayyubiyah yang berdiri di Mesir merupakan dinasti yang berhasil menggulingkan Kekhalifahan Fatimiah. Dengan peralihan kekuasaan ini beralih pula faham atau aliran Islam dari faham Syi`i menjadi Sunni. Dinasti Ayyubiyah mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh pendirinya, Shalah al-Din al-Ayyubi, ketika itu dia berhasil merebut Yerussalem dan menjadi pemimpin yang sangat disegani. Setelah dia wafat, wilayah-wilayah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah dibagikan kepada anak-anak dan saudara-saudaranya. Pada saat itu pula sering terjadi perselisihan antar keluarga Ayyubiyah sehingga kekuatannya semakin lemah dan akhirnya mengalami peralihan dari dinasti Ayyubiyah kepada Dinasti Mamluk.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, dkk.,Taufik. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Bosworth,C. E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Mizan: Bandung, 1993.
Edyar, dkk., Busman. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009.
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam. Yogyakarta: Kota Kembang,      1989.
Hitti,Philip K. History of the Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Publiser, 2009.




[1] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 824.
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 401.
[3] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), hlm. 101.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 280.
[5] Selengkapnya baca M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Publiser, 2009), hlm. 207- 208
[6] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 824.
[7] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 102.
[8] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 208.
[9] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 825.
[10] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan, (Mizan: Bandung, 1993), hlm. 86.        
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 285.
[12] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 825.
[13] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[14] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, hlm. 86.
[15] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[16]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[17]  Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 826.
[18]  Ibid., hlm. 827.
[19]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[20]  Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[21] Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 137.
[22] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 105.
[23] Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II, hlm. 138.
[24] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, hlm. 87.
[25] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 833.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[27] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 834.
[28] Ibid., hlm. 835-836.
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 292-293.
[30] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 836-837.