Riza Nur Fikri

Riza Nur Fikri

Senin, 03 Januari 2011

Dinasti Ayyubiyah

DINASTI AYYUBIYAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Afrika
Dosen Pengampu: Prof. Dr. M. Abdul Karim, MA., MA.



Oleh:
Riza Nur Fikri: 08120027

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010




BAB I
PENDAHULUAN
            Ketika Dinasti Fatimiyah mulai melemah dan tidak sanggup menghadapi tentara Salib yang ingin menguasai dunia Islam, rajanya, Al-‘Adhid li Dinilah yang telah tua renta dan sering sakit-sakitan meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki (Nuruddin al-Janggi), raja Syam. Nuruddin mempunyai pemimpin militer yang sangat cakap yaitu Syirkuh untuk membantu pasukan Mesir. Setelah dia wafat, posisinya digantikan oleh keponakannya yaitu Shalah al-Din Ibn Ayyub. Melalui perjuangan yang keras, akhirnya Shalah al-Din berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah.
Dalam pembahasan mengenai dinasti ini pastinya tidak akan lepas dari peristiwa perang Salib, meskipun tidak secara keseluruhan, namun hanya sebatas pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Secara garis besar, dalam makalah ini diuraikan mengenai berdirinya Dinasti Ayyubiyah, perkembangan dan kemajuannya, serta berakhirnya Dinasti Ayyubiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Pendiri dinasti Ayyubiyah adalah Shalah al-Din Ibn Ayyub (Shalahuddin al-Ayyubi, di Barat dikenal dengan Saladin). Dia dilahirkan di Tikrit, Tigris, pada tahun 1138 di bawah asuhan suku Kurdi.[1] Ia mendapat latihan awal dari ayahnya, Najmuddin Ayyub dan pamannya yang berjiwa kesatria yaitu Asaduddin Syirkuh. Keduanya adalah pembantu-pembantu terpercaya dari Nuruddin Mahmud, raja Syiria.[2]
Shalah al-Din muncul sebagai prajurit biasa di Mesir pada tahun 559 H/1164 M pada waktu usia 27 tahun. Pada waktu itu raja Nuruddin Zanki mengutus tentara yang terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di bawah pimpinan Syirkuh yang dibantu oleh staf komandonya yang salah satunya adalah Shalah al-Din.[3] Nuruddin bertekad untuk menyerang Mesir. Syirkuh mempengaruhi orang-orang Mesir, menyerbu pasukan Franka yang sudah keluar untuk menghalang-halanginya. Almeric (pemimpin orang-orang Franka) menarik mundur ke Palestina, sementara Syirkuh memasuki Kairo dengan kemenangan.[4] Pada saat itu Syirkuh bekerjasama dengan Sawar, salah satu menteri Fatimiyah yang diusir oleh Dirgham dan pendukungnya dan melarikan diri ke Syiria. Namun setelah kembali menjabat sebagai wazir, dia berkhianat dan berusaha membunuh Syirkuh dan bekerjasama dengan Almeric, namun tidak berhasil dan dikalahkan oleh Syirkuh.[5]
Atas prestasinya itu, pada tahun 1169 Syirkuh menduduki jabatan menteri di bawah pimpinan al-‘Adid, Khalifah Fatimiyah terakhir. Namun tak lama setelah pelantikannya, Syirkuh meninggal dunia dan digantikan oleh keponakannya, Shalah al-Din Ibn Ayyub.[6]
Ketika Khalifah al-‘Adid meninggal, Shalah al-Din pun diangkat menjadi penguasa Mesir. Tetapi dia tidak bersedia menjadi pelanjut raja Fathimiyah.[7] Pada 1171 M, Ayyubi menghapuskan Kekhalifahan Fatimiyah.[8] Bertepatan dengan wafatnya Nuruddin pada tahun 1174, Shalah menyatakan kemerdekaannya di Mesir.[9] Dia menghapuskan jejak-jejak terakhir kekuasaan Fatimiyah di Mesir dan mempromosikan suatu kebijaksanaan pendidikan dan keagamaan Sunni yang kuat[10], menggantikan faham Syi`i.
B.     Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Ayyubiyah

Periode kedua atau periode menghadapi Syria (1174-1186 M)[11] dimulai setelah wafatnya Nuruddin Zanki. Setelah melalui beberapa pertikaian dan perjanjian yang memuncak pada pertempuran Qurun Hamah, ia merebut Syiria dari Isma’il yang baru berumur tujuh tahun, anak Nuruddin. Pada saat yang bersamaan, saudara tertua Shalah, Turan Syah berhasil mengambil alih kekuasaan di Yaman. Pada tahun 1175, Shalah al-Din secara pribadi meminta Khalifah Abbasiyah untuk melantiknya sebagai penguasa atas wilayah Mesir, Maroko, Nubia, Arab Barat, Palestina, dan Suriah Tengah. Khalifah Abbasiyah mengabulkan permintaan itu.[12]
Kemudian Shalah al-Din menjadi penguasa Arab terpenting yang berhasil menyatukan Mesir, Syiria, Mesopotamia dan Yaman.[13] Kebijakan Shalah al-Din selanjutnya adalah melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib. Kebijakan ini membuat antusiasme Islam bersatu dibelakangnya dan mampu mempersatukan tentara Turki, Kurdi dan Arab di jalan yang sama.[14] Untuk mempertahankan diri dari gerakan Fathimiyah di Mesir, pasukan Salib di Syiria dan Palestina, dia mendirikan benteng Kairo di bukit Muqattam yang paling barat.[15]
Periode ketiga atau periode Palestina (1186-1193 M), digunakan untuk perang suci melawan orang-orang Salib.[16] Pada 1 Juli 1187, Shalah al-Din merebut Tiberias setelah peperangan selama enam hari. Penaklukan itu kemudian disusul oleh perang Hittin pada 3-4 Juli[17], yang akhirnya dimenangkan olah Shalah al-Din. Kemenangan Shalah al-Din dalam perang Hittin telah memangkas gerak penyebaran bangsa Franka. Setelah penyerbuan yang berlangsung seminggu, Yarusalem akhirnya menyerah pada 2 Oktober 1187. Di Masjid al-Aqsha, seruan adzan menggantikan lonceng Kristen, dan salib emas yang berada di atas kubah batu diturunkan oleh tentara Shalah.[18]
Penaklukan itu memberikan kekuasaan atas sebagian besar kota bangsa Franka di sepanjang Suriah-Palestina kepada Shalah al-Din. Kota-kota seperti Acre, Nablus, Ramleh, Caesaria, Jaffa, Ascolon dan Beirut juga jatuh ke tangan Shalah al-Din. [19] Perang suci inipun berakhir dengan perjanjian di Ramleh pada tahun 1192 M dengan beberapa syarat: (1) Yarussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diizinkan beribadah di tanah suci mereka, (2) Tentara Salib mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai Jaffa, (3) Umat Islam mengembalikan harta rampasan kepada umat Kristen.[20]
Kebijakan yang dilakukan oleh Shalah al-Din pada waktu itu antara lain dia mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi`i di Mesir, Yerussalem dan Damascus. Madrasah-madrasah yang didirikan antara lain adalah Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Shalahiyah.[21] Dia juga banyak membangun administrasi Negara, membangun ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan disamping membangun madrasah dan mengembangkan madzhab ahlu al-sunnah. Dalam bidang militer dibangun benteng pertahanan di bukit Muqattan untuk menghadapi gerakan Fatimiyah dan pasukan Salib.[22] Shalah al-Din merupakan kesatria atau pejuang dan pahlawan Islam.  Dia juga tokoh yang sederhana, sabar, dan pelindung ilmu pengetahuan. Dikalangan orang Barat dia masih dianggap sebagai teladan dalam sikap kepahlawanan. Di bawah kepemimpinannya, Dinasti Ayyubiyah mengalami masa kejayaan hingga dia wafat pada tahun 1193 M.
C.    Berakhirnya Dinasti Ayyubiyah

Sebelum wafat, Shalah al-Din memberikan berbagai bagian dari dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damascus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Shalah al-Din, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Baalbek dan Yaman.[23] Sekalipun demikian, rasa solidaritas keluarga dan pengendalian dari pusat tetap ada di bawah Al-‘Adid dan Al-Kamil  hingga a-Al-Kamil meninggal.[24]
Antara tahun 1196-1199, al-‘Adil memanfaatkan perselisihan antara keponakan-keponakannya, mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar Suriah untuk dirinya sendiri. [25] Pada saat itu orang-orang Salib mulai menyadari bahwa Mesir merupakan bagian yang penting sekali, bahwa penundukannya pasti memudahkan jatuhnya Palestina ke tangan mereka.[26] Setelah al-‘Adil wafat pada 1218, perselisihan antara saudara terus terjadi. Pada saat itu pula Suriah Utara dihancurkan oleh pasukan Tartar dari suku Hulaghu.
Selanjutnya dinasti Ayyubiyah dipimpin oleh Al-Kamil (1218-1238). Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam Dinasti Ayyubiyah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk melakukan serangan tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalah al-Din, seperti Beirut, Safawi, Tiberas, Askalon, bahkan Yerussalem jtuh ke tangan orang Franka.[27] Pada tahun 1229 dalam suatu perjanjian yang curang, Yerussalem diputuskan untuk diserahkan kepada Frederick, dengan jaminan bahwa al-Kamil akan menerima bantuan dari Frederick untuk melawan musuh, yang kebanyakan dari mereka adalah keluarga Ayyubiyah.[28] Al-Kamil wafat pada tahun 1238.
Pemimpin Ayyubiyah selanjutnya adalah anaknya, Abu Bakar, bergelar al-Adil II. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama, tidak ada ada tiga tahun. Budak-budaknya bersekongkol mengadakan perlawanan terhadapnya dan memproklamirkan Shalih Ayyub. Pada masa pemerintahannya, dengan unit pasukan Khawariz, dia berhasil mengembalikan Yerussalem ke tangan Islam dan mengalahkan Frank di dekat Gaza. Kemudian Menguasai Damascus lagi pada tahun 1245 dan Ascolon pada tahun 1247.[29]
Pada saat Shalih wafat (1249), istrinya, Syajar al-Durr, merahasiakan kematian Shalih selama tiga bulan sampai anak dan pengganti Shalih, Turan Syah, kembali dari Mesopotamia. Turan gagal beradaptasi dengan budak-budak (mamluk) ayahnya, yang berkomlpot dengan ibu tirinya, dan akhirnya Turan pun dibunuh. Syajar memproklamirkan dirinya sebagai ratu Negara Islam, dan keturunannya Diansti Ayyubiyah di Damascus yang baru berumur enam tahun, al-Asyraf Musa, disetujui untuk menjadi penguasa, tetapi yang bertindak sebagai raja adalah Mamluk Aibak, pendiri Dinasti Mamluk.[30]

BAB III
PENUTUP
           
            Dinasti Ayyubiyah yang berdiri di Mesir merupakan dinasti yang berhasil menggulingkan Kekhalifahan Fatimiah. Dengan peralihan kekuasaan ini beralih pula faham atau aliran Islam dari faham Syi`i menjadi Sunni. Dinasti Ayyubiyah mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh pendirinya, Shalah al-Din al-Ayyubi, ketika itu dia berhasil merebut Yerussalem dan menjadi pemimpin yang sangat disegani. Setelah dia wafat, wilayah-wilayah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah dibagikan kepada anak-anak dan saudara-saudaranya. Pada saat itu pula sering terjadi perselisihan antar keluarga Ayyubiyah sehingga kekuatannya semakin lemah dan akhirnya mengalami peralihan dari dinasti Ayyubiyah kepada Dinasti Mamluk.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, dkk.,Taufik. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Bosworth,C. E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Mizan: Bandung, 1993.
Edyar, dkk., Busman. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009.
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam. Yogyakarta: Kota Kembang,      1989.
Hitti,Philip K. History of the Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Publiser, 2009.




[1] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 824.
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 401.
[3] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), hlm. 101.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 280.
[5] Selengkapnya baca M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Publiser, 2009), hlm. 207- 208
[6] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 824.
[7] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 102.
[8] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 208.
[9] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 825.
[10] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan, (Mizan: Bandung, 1993), hlm. 86.        
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 285.
[12] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 825.
[13] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[14] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, hlm. 86.
[15] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[16]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[17]  Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 826.
[18]  Ibid., hlm. 827.
[19]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[20]  Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[21] Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 137.
[22] Busman Edyar, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 105.
[23] Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II, hlm. 138.
[24] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, hlm. 87.
[25] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 833.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 286.
[27] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 834.
[28] Ibid., hlm. 835-836.
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 292-293.
[30] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 836-837.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar